Peran Pembantu Hingga Sutradara Film


Sering dibawa almarhum ayahnya menghadiri undangan pertunjukan pementasan dan teater seni dan budaya sejak kecil, mendorongnya lebih mengenal bidang teater. Hingga akhirnya dia mengungkapkan kecintaan teradap seni lewat film.

Berbicara dengan H Amsyal, pasti yang dibahas tak jauh-jauh bicara seputar seni, budaya dan film. Pria murah senyum ini sudah cukup lama menekuni bidang Production House, Broadcasting Product, Entertaiment dan Multi Media, yang didirikan dengan nama PT Widy Production pada tahun 2006 lalu।

Bang Amsyal begitu nama panggilan akrabnya, cukup dikenal kalangan seniman karena aktivitasnya lebih fokus dalam pengembagangan perfilman mengangkat seni dan budaya masyarakat lokal di Sumatera Utara. Maka, tak heran sosok suami Hj Farida Hanum Gani ini lebih dikenal dari sisi profesinya sebagai seorang insan perfilman dari pada orang dalam di PT Pertamina Regional I Sumatera.

Ada saja ide yang ditemukannya, untuk bisa dituangkannya dalam sebuah film. “Semua saya lakukan karena saya tidak bisa hidup tanpa seni,” ungkap Amsyal kepada MedanLook, di sebuah CafĂ© di Hotel Danau Toba minggu ketiga Juli lalu.

Sebuah film menceritakan keberadaan perkampungan masyarakat asal Bali, yang sudah cukup lama berada di Kabupaten Langkat akan digarapnya dalam waktu dekat ini. Hunting lokasi pun sudah dilaksanakan awal Juli lalu. “Film ini sepenuhnya di kerjakan oleh Widy Production,” kata Amsyal.

Keterarikanya akan mengangkat Kampung Bali berada di Kabupaten Langkat itu dalam layar lebar, melihat keunikan ketika mengunjungi kampung ini beberapa waktu lalu. Masyarakat yang dijumpai Amsyal masih berkomunikasi dengan bahasa Bali.

Bahkan nuansa adat Bali begitu kental terlihat dari pakaian yang digunakan hingga interior rumah hampir yang lengkap dengan Puranya, joglo, teras, pagar dan asoseris lainnya. Hari raya besar Hindu seperti Hari Nyepi, Hari Waisak bagi pemeluk agama Budha, diperingati dengan kesenian Bali. “Kita seakan seperti berada di Bali,” ujarnya.

Semangatnya mengangkat seni dan budaya dalam film memang patut diberikan apresiasi. Ditengah usianya sudah mencapai setengah abad, ditambah lagi kesibukan bekerja sebagai Asisten K3L di PT Pertamina Regional I Sumatera di Medan ini, masih tetap semangat dalam memproduksi film.

Sejumlah film dan sinetron sudah pernah diproduksinya. Sebahagian diantaranya pernah menghiasi layar TVRI. Kegiatan perfilman sudah mulai ditekuninya sejak tahun 1993 lalu. Pernah sebagai sinematografi seperti “Siapa Menuai Badai” pada tahun 2009 yang ditayangkan di TVRI.

Sinetron “Anak Siampuan” sebanyak 13 episode di TVRI , “Calon Bupati” pada tahun 2010. Kemudian, pernah menjadi Pelatih dan Ketua Dewan Juri Festival Fim Anak (FFA) Tahun 2010 lalu.

Ada lagi, Film Profil yang berjudul “ Simalungun Dari Biji Sawit Sampai Danau Toba”. Tak hanya film, sejumlah pembuatan iklan juga digarapnya diantaranya Iklan Layanan Masyarakat H.Samsyul Arifin, SE sebagai Calon Gubsu pada 2008 yang di tayangkan di Stasiun TVRI. Film Pesona “ Wisata Kabupaten Langkat ‘, Film Profile ”Kota Medan 314 Tahun“.

Ketika terjadi bencana tsunami di Aceh dan gempa bumi di Nias beberapa tahun lalu, Anggota Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI) Sumatera Utara ini, pernah kebanjiran order dari beberapa rekannya untuk pembuatan Film Dekomenter.

Untungnya kecintaanya kepada seni bisa dijalaninya salah satu karena perusahaan tempatnya bekerja memberikan dukungan terhadap kegiatannya yang berhubungan dengan pengembangan kegiatan seni dan budaya.

Tak jarang, setiap proyek pembuatan film, dia merangkul sejumlah wartawan Media Cetak terbitan Medan, Reporter atau Cameraman TV Swasta Nasional dan para Seniman Teater. “Untung saja saya kerja, sehingga kecintaan saya terhadap seni dan penggarapan pembuatan film, masih bisa jalan,” kata mantan jurnalis ini.

Perjuangan mendirikan rumah produksi bukanlah instant. Ketika remaja dia ingin melanjut ke Sekolah Menegah Atas (SMA) untuk bisa mendalami seni dan budaya. Namun, permintaan itu ditentang ayahnya almarhum Abdul Rahman Chaniago. Sang ayah menginginkannya melanjut ke Sekolah Teknik Menengah (STM) dengan alasan lebih memiliki masa depan, mengikuti jejak ayah bekerja di Pertamina.

Akhirnya dia pun melanjut pendidikan ke STM Negeri 3 Medan. Dari sinilah bakat mengenal dan belajar seni teater mulai berkembang. Hampir sering dia mampir ke Taman Budaya, yang jaraknya tidak jauuh dari sekolahnya, hingga akhirnya dia diterima bergabung di Teater Shakuntala Medan jadi peran pembantu pada 1974.

Berbagai tantangan dapat dilaluinya karena dia memegang prinsip dalam hidupnya.

“Sebuah karya besar tak akan terwujud jika tidak diawali dengan sesuatu yang kecil. Makanya pekerjaan sekecil apapun jika dilakukan dengan kesungguhan dan ketekunan akan menjadi sebuah awal bagi terwujudnya karya besar,”


papar pria kelahiran Makasar ini hingga saat ini dia bisa menyutradarai beberapa pementasan dan pembuatan sinetron.Coki

Komentar