Keiklasan Mengadopsi Ratusan Anak Pinggiran Rel


Berawal dari rasa prihatin dan terharu, hingga tak sadar air mata menetes, melihat dua orang anak pengamen sedang melahap sebuah nasi bungkus pinggir jalan di Medan, beberapa tahun silam. Hati Soramuli tersentuh untuk membantu anak-anak jalanan dan anak-anak dari keluaraga ekonomi bawah yang tinggal di sekitar pingiran Rel Kereta Api dan pinggiran sungai.

Dorongan itu semakin kuat, tak kala sepasang suami istri warga negara Belanda yang tak pernah dikenalnya datang menemuinya, menyampaikan adanya keinginan mereka untuk mendirikan panti asuhan bagi anak-anak jalanan.

Tak lama membantu keinginan pasutri itu. Sora demikian panggilan akrabnya memilih, untuk jalan sendiri. Sora kemudian membuat program Pusat Pelayanan Anak (PPA). Dari program ini sudah sekitar 300 anak dari keluarga prasejahtera yang tinggal dipinggiran Rel Kreta Api diadobsinya.

Dibantu dengan tim relawan, anak-anak ini bisa mendapat asupan gizi yang cukup, layanan kesehatan dan pendidikan yang lebih layak di sebuah sekolah benama Teleta Kum dibawah naungan Yayasan Peduli Karakter Bangsa (YPKB) yang didirikannya di kawasan Jalan Pabrik Tenun.

Anak-anak yang diadobsinya itu, sebelumnya merupakan korban tindak kekerasan dalam rumahtangga, memiliki prilaku buruk, jauh dari kebersihaan dan pelayanan kesehatan karena persoalan himpitan ekonomi orangtuanya.

Namun visi ibu tiga anak ini begitu kuat untuk memutuskan ratai kemiskinan bagi masyarakat prasejahtera, dijalani dengan penuh kesabaran. Lewat bimbingan, prilaku buruk anak-anak itu akhirnya bisa diubahnya.

“Anak-anak disini walaupun mereka miskin, kita didik untuk punya karakter, bertanggungjawab, disiplin dan saling mengasihi sesama dan mereka akhirnya mengalami perubahan. Karena perubahan itu banyak anak-anak dari ekonomi tidak miskin, ingin bersekolah disini,” kata Soramuli awal Mei lalu di ruang kerjanya.

Membina Ibu-ibu

Tak hanya kepada bidang pendidikan anak-anak diperhatikanya. Soramauli, turut memberikan pembinaan ibu-ibu dari ekonomi prasejahtera melalui program Pusat Pelayanan Ibu dan Anak (PPIA).

Ibu-ibu ini umumnya bekerja sebagai pembatu rumah tangga, pemulung dan lainnya untuk membantu pendapatan suami mereka. Sejak program ini berjalan, sekitar 100 ibu-ibu menjalani pembinaan karakter mulai dari pembinaan sosial, emosi, ekonomi dan spritual.

Sora berharap dengan pembinaan karakter, persoalan kemiskinan dan tekanan ekonomi tidak membuat mereka harus putus asa, kehilangan harahapan dan gampang menyerah dengan keadaan.

“Kita selalu memberi harapan kepada mereka, paling tidak anak-anak mereka bisa mengubah kondisi mereka lebih baik kedepannya. Kita selalu bilang, tidak selamanya mereka menjadi orang miskin,” ujarnya.

Melihat kondisi ekonomi mereka yang serba sulit untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Sora pun mendirikan sebuah Koperasi Sembako. Di koperasi ini, para ibu-ibu bisa membeli kebutuhan pokok dengan hanya mencicil.

Bagi ibu-ibu yang masih memiliki anak usia balita, Sora memberikan asupan gizi, salah satunya dengan pemberian susu kotak secara gratis. Perkembangan dan kesehatan anak-anak itu juga terus dipantau.

Sora juga turut mencarikan jalan untuk bisa meningkatkan pendapatan dan ekonomi keluarga mereka. Caranya, Sora membuat program pemberdayaan keluarga dengan memberikan pelatihan seperti jahit menjahit, membuat tahu-tempe, susu kedelai dan kerajinan lainnya.

“Saya juga sedang berusaha bisa menjalin kerjasama dengan pihak perusahaan lain yang saat ini sedang membutuhkan tenaga kerja yang bisa kita berikan kepada mereka,” paparnya.

Membantu masyarakat ekonomi pra sejahtera memberikan kepuasan dan kebahagian bagi dirinya. “Walaupun belum lengkap saya kerjakan. Saya ingin berkarya untuk Indonesia. Disini saya punya visi untuk memutuskan rantai kemiskinan,” katanya.

Tantangan Berbuah Kebahagiaan

Berbagai tantangan sudah dilalui dalam perjalanannya membantu memenuhi kebutuhan pendidikan anak-anak dari keluarga kurang mampu. Ketika memberikan pendidikan bagi anak-anak yang tinggal dikolong Jembatan jalan Ir Juanda beberapa tahun lalu. Istri Ezron Purba ini, pernah mengontrak sebuah rumah sederhana disulap sebagai sekolah di pinggiran sungai Deli itu.

Namun, sekolah itu tidak bertahan lama. Adanya proyek pembangunan disekitar jembatan itu, membuat dirinya terpaksa menutup sekolah itu. Sora pun kemudian memindahkan sekolah itu di sekitar pinggiran rel jalan Ayahanda Medan.

Letih berpindah-pindah. Sora berpikir membangun sekolah sendiri. Dia akhirnya memutuskan menggadaikan sebuah rumahnya di Bank, untuk membeli sebidang tanah di Jalan Surau Gg Cikditiro, di kawasan Pabrik Tenun. Keputusan itu mendapat dukungan dari suaminya.

Di tanah ini lah dia mulai merintis membangung sebuah sekolah bernama Talita Kum, untuk Taman Kanak-Kanak dan Sekolah Dasar (SD) bagi anak masyarakat prasejahtera. Kini anak-anak prasejahtera akhirnya bisa mewujudkan mimpi menjadi orang sukses. Tak heran bila, sebahagian besar masyarakat dibawah pingiran rel Kereta Api dan di bantaran sungai, begitu mengenal sosoknya.

Bahkan, keiklasan hatinya itu membuat sejumlah lembaga, instansi dari sejumlah negara asing yang peduli dengan anak, peberdayaan ekonomi masyarakat prasejahtrera berdatangan menawarkan kerjasama dan bantuan kepada Yayasannya.

Uluran tangan dari negara asing itu sebelumnya tak pernah terbayangkan olehnya. “Pada hal, saya gak pernah sekalipun mengajukan proposal kepada mereka, mereka tahunya sendiri dari mulut ke mulut. Saya sama sekali tidak pernah kenal mereka,” paparnya.

Sejumlah lembaga yang datang ada dari kampus di Singapura memberikan mesin jahit, Germany Help dari Jerman membatu pembangunan gedung sekolah Talita Kum dan bantuan lainnya seperti dari Compassion International dari Amerika Serikat serta Hope From Australia.

Namun dia tidak memunafikan, uluran tangan dari lembaga asing serta bantuan para relawan yang bekerja keras bersamanya, membuat dirinya tetap eksis dalam menjalankan visi untuk memutuskan rantai kemiskinan hingga saat ini.
“Dengan saya membantu mereka. Saya merasakan kebahagiaan,” tuturnya.

Komentar